Langsung ke konten utama
Peranan Timbal balik Antara PBB dan Indonesia
Indonesia adalah bangsa dan negara yang cita damai tetapi lebih mencintai kemerdekaannya. Untuk itulah Indonesia menjadi annggota PBB sejak tanggal 28 September 1950 dan menjadi anggota yang ke-60 (antara 7 Januari 1965-28 September 1966 Indonesia keluar dari PBB karena konfrontasi dengan malaysia). Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB selain untuk ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia sebagaimana telah ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV juga agar Indonesia dapat menjalankan politik luar negeri yang “ Bebas Aktif” dengan baik.
Selama menjadi anggota PBB negara kita telah banyak mendapat bantuan dari PBB da sebaliknya telah banyak pula memberikan bantuan kepada PBB. Degan kata lain antara Indonesia dengan PBB terdapat hubugan timbal balik yang saling menguntungkan.
Bantuan PBB Kepada Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang palig banyak menerima bantuan dari PBB, baik berupa bantuan jasa baik yang diterima Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya, mau pun bantuan keuangan dan pinjaman luar negeri serta bentuk-bentuk kerjasama dengan PBB yang lainnya.
1)   PBB Sebagai Penengah Indonesia-belanda
Pertikaian Indonesia-Belanda pada awal kemerdekaan Indonesia menjadi masalah internasional setelah Dewan Keamanan PBB mendapat laporan dari Ukraina (negara bagian Uni Soviet yang mendapat hak suara penuh dalam PBB sehigga diakui sebagai anggota). Masalah pertikaian Indonesia-Belanda pada waktu itu dianggap sebagai masalah internasional, sehingga Dewan Keamanan PBB kemudian membentuk suatu panitia penyelidik tentang masalah-masalah Indonesia.
a)   Komisi Tiga Negara (KTN)
Masalah pertikaian Indonesia-belanda menjadi semakin penting dan dimasukkan dalam acara Sidang DK-PBB tanggal 31 Juli 1947, terutama setelah Belanda mengadakan agresi I tanggal 21 Juli 1947. Atas usul Australia yang menaruh simpatik terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, DK-PBB akhirnya menyerukan agar Indonesia dan Belanda mengadakan perundinngan atau menyelesaikan pertikaian dengan cara arbitrase atau cara damai lainnya dan laporkan hasilya kepada PBB.
Seruan DK-PBB mendapat tanggapan positif dari pihak Indonesia dan Belanda sehingga gencatan senjata dapat dicapai sejak tanggal 4 Agustus 1947. Kemudian pemerintah RI mengirimka delegasi ke PBB yang terdiri dari Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo. Delegasi RI memita kepada DK-PBB utuk membentuk suatu badan arbitrase/penengah yang tidak memihak. DK-PBB kemudian menawarkan pembentukan Komisi Jasa Baik yang anggotanya terdiri dari tiga negara (dikemudian hari dikenal sebagai Komisi Tiga negara).
Alternatif pemecahan masalah Indonesia-Belanda yang di ajukan DK-PBB disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Komisi Tiga Negara terbentuk denga Australia (ditunjuk oleh pemerintah RI), Belgia (ditunjuk oleh belanda) dan Amerika Serikat sebagai penengah ( wakil PBB). Anggotanya terdiri dari Richard C. Kirby (Australia), Paul van Zeelad (Belgia) dan F.B Graham (AS). Hasil nyata dari KTN adalah dilaksanakannya Perjanjian Renville (17 januari 1948). Isi perjanjian secara wilayah dan militer merugikan pihak Indonesia (ingat tentara RI harus hijrah ke Jogjakarta), tetapi secara politis menguatkan kedudukan RI di dunia Internasional.
Pada tanggal 19 desember 1948 Belanda melakukan Agresi II atas wilayah Indonesia dan menawan pemimpin-pemimpin RI. KTN melaporkan hal tersebut kepada DK-PBB. Hasilnya berupa resolusi agar pimpinan RI yang ditawan Belanda segera dibebaskan dan permusuhan Indonesia-belanda segera diakhiri.

b)   Komisi PBB Untuk Indonesia
Setelah ternyata belanda tidak mematuhi hasil persetujuan Renville (karena Belanda mengadakan Agresi Militer II), DK-PBB kemudian memperluas wewenang KTN dan mengubah namanya jadi United Nations Commission for Indonesia (UNCI). UNCI menjadi penengah dalam Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag. Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan persetujuan KMB. Salah satu isinnya adalah penyerahan kedaulatan (dilaksanakann pada tanggal 27 Desember 1949).


                    Pengakuan dan Penyerahan Kedaulatan Indonesia di Konferensi Meja Bundar II 1949

Walaupun kemerdekaan Indonesia telah diakui dunia luar, tapi belanda tetap berusaha untuk menguasai Indonesia. Ini terbukti dengan dibentuknya Uni Indonesia-belanda dan pembentukan negara Indonesia Seriat (RI merupakan negara bagian).
Setelah kembali menjadi negara kesatuan (atara bulan Desember 1949 – Agustus 1950 Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat dengan RI Jogjakarta sebagai negara bagian dari RIS), Indonesia diterima menjadi anggota PBB yang ke-60 tanggal 28 September 1950. Degan demikian kemerdekaan Indonesia telah mendapat pengakuan dunia Internasioal
c)    Penyelesaian Irian barat
Posisi Indonesia di dunia internasional semakin mantap setelah diterima menjadi anggota PB. Diterimanya Indonesia sebagai anggota PBB merupakan pengakuan politis terhadap kedaulata negara kita oleh dunia internasional. Dengan demikian Indonesia mempunyai peluang yang lebih besar dalam menjalankan politik luar negerinya.
Walaupun demikian pertikaian atara Indonesia dengan belanda terus berlangsung, karea Belanda berusaha untuk tidak menepati isi perjanjian KMB. Salah satu masalah yang menjadi kendala hubungan Indoesia-Belada adalah pengembalian Irian barat (sekarang Irian Jaya) yang menurut perjanjian KMB aka diserahkan kepada Indonesia setahun setelah penyerahan kedaulatan.
Masalah Irian Barat diajukan dalam forum Sidang Majelis Umum PBB dalam tahun 1954, tetapi tidak mendapat dukungan dari dua pertiga anggotaya. Dalam sidang-sidang PBB 1955-1957 masalah Irian barat tetap diajukan oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi mengajukan itu selalu gagal karena tidak mendapat dukungan dua pertiga anggota majelis, sehingga Indonesia menempuh jalan lain, bahkan kalau perlu dengan kekuatan militer.
Jalan lain yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah irian Barat diataraya dengan pembelian senjata secara besar-besaran dari Uni Sovyet (1960) dan pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin langsung oleh brigjen Soeharto. Komando mandala merupakan kelanjutan dati Tri Komando Rakyat (TRIKORA), yang berisi :
· Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan belanda
· Kibarkann Sag Merah Putih di irian barat
· Bersiaplah untuk mengadakan mobilisasi umum mempertahankan irian barat
Dengan Trikora, konfrontasi terhadap belanda dimulai dan dipertegas oleh pembentukan Komando mandala Pembebasan iria barat. Pertikaian Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat meluas sampai terjadi pertempuran di beberapa tempat di pulau-pulau sekitar Irian Barat. Pertempuran di Laut Arafuru telah menewaskan Komodor Yos Sudarso.
Dengan adanya persetujuan pembelian senjata antara Indonesia dengan Uni Sovyet, Ameria Serikat merasa perlu untuk turun tangan mengingat pengaruh komunisme yang mungkin akan meluas di kawasan Asia Pasifik yang akan mengancam kedudukan Amerika Serikat dan perdamaian dunia. Amerika Serikat mengirimkan E Bunker untuk membujuk Indonesia agar Indonesia mengadakan perundingan dengan Belanda. Perundingan berlangsug di New York antara Indonesia (diwakili oleh Adam Malik) dengan Belanda (yang diwakili oleh Dr. Van Royen) dan menghasilkan Persetujuan New York (1962). Persetujuan New York antara lain menghasilkan:
ü  Permusuhan Indonesia-Belanda dihentikan
ü  Dibentuk UNTEA sebagai penyelenggara pemerintahan sementara di Irian barat
ü  Irian barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia paling lambat 1963
ü  Pada tahun 1969 diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA).
2)   Bantuan Indonesia Kepada PBB
a)   Pengiriman Pasukan Garuda I ke Timur Tengah
Dalam rangka ikut serta memelihara ketertiban dunia, Indonesia mengirimkan Pasukan garuda I ke Timur tengah (2 januari – 6 September 1957) yang ditempatkan di jalur gaza. Pasukan garuda I bertugas mengawasi penarikan mundur tentara Israel. Pasukan Garuda I berada di bawah Komandan Let. Kol hartoyo dengan kekuatan 550 orag. Pasukan Garuda I bergabung dengan United nations Emergency Force (UNEF).
b)   Pengiriman Pasukan Garuda II dan III ke Kongo
Pada akhir tahun 1960 pemerintah Indonesia kembali mendapat kepercayaa untuk mengirimkan pasukan pemelihara perdamaian di bawah komando PBB. Antara bulan September 1960 – Mei 1961 pasukan Indonesia (Pasukan garuda II) dibawah Komando Batalyon Let. Kol. Solihin G.P. bertugas sebagai pasukan penengah perang saudara di Kongo dan bergabung dengan pasukan PBB di bawah United Nations Operation for Congo UNOC).
c)    Pengiriman Misi Garuda RI (MISRIGA) Ke Vietnam Selatan
Usaha pemisahan Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan melahirkan perang Vietnam. Indonesia dipercaya untuk mengirimkan pasukan pengawas dan pengamat gencatan senjata ke Vietnam. Misi pasukan Indonesia diberi nama sandi MISRIGA (Misi Republik Indonesia garuda).
Pada bulan januari-Agustus 1973 pemerintah Indonesia atas nama PBB mengirimkan pasukan garuda (MISRIGA) IV dibawah komandan Brig jend Wiyogo Atmidarminto, dengan tugas sebagai pasukan pengawas dan pengamat gencatan senjata dan pertukaran tawanan perang. Kontingen MISRIGA IV yang dipimpim oleh Lt. Jend H.R Dharsono berada di bawah komando International Commission for Control and Supervision (ICCS).
Setelah MISRIGA IV habis masa tugasnya, pemerintah Indonesia kembali mengirimkan MISRIGA V ke Vietnam Selatan dengan tugas yang sama dengan MISRIGA IV. MISRIGA V di bawah komando komandan Brig Jend Harsoyo. Setelah MISRIGA V selesai melakukan tugasnya. MISRIGA VII dikirim sebagai pengganti MISRIGA V dengan tugas yang sama. MISRIGA VII ditarik setelah pasukan Vietkong menguasai Vietnam Selatan pada tahun 1975, sehingg kedudukan dan keselamatan pasukan pemeliharaan perdamaian terancam.


Komentar